Ritus Kematian dalam Karya Prehistoric Soul

Ayu Pawitri
5 min readNov 12, 2020

Sepasang lampu sorot berwarna biru menyilaukan mata. Pada malam yang hangat itu, (syukurlah) Denpasar tidak turun hujan. Sehelai kain jaring berwarna putih terbentang di depan Jabe Pura Dalem Mutering Jagat, Kesiman. Orang-orang duduk di arena persegi empat yang berundak, tempat itu disebut sebagai Kalangan Tajen (arena sabung ayam).

Seekor kuda putih tampak mengais tanah di sisi selatan pura, gemercik air di sungai sebelah pura berpadu dengan pementasan malam itu. Prehistoric Soul Project menggelar sebuah pentas multimedia bertajuk “The Death Project, Kematian Adalah Bukti Abadi Kehidupan” pada Kamis, 5 November 2020.

Suasana yang begitu padat membuat fokus saya mengarah kemana-mana. Dalam kalangan tajen berbentuk persegi tersebut, dibuat dua sudut pementasan utama. Di sisi timur kalangan, kain putih dipasang untuk menampung pantulan grafis dan di sisi barat kalangan sebuah instalasi untuk rangkaian pementasan dipasang.

Di tengah kalangan tajen, sebuah kerangka (sepertinya) laki-laki raksasa yang dianyam bambu mengeluarkan cahaya merah. Beberapa orang juga duduk di tengah kalangan, mereka memastikan visual multimedia terpantul ke kain putih, beberapa di antara mereka juga menghasilkan musik yang mengiringi pementasan tersebut. Pengalaman ini menjadi pengalaman pertama saya menyaksikan teater baru dengan format multimedia di bawah pohon besar dan langit Denpasar.

Saat pertama kali menyaksikan pementasan ini saya sebenarnya cukup bingung, sebab ini kali pertama saya menyaksikan format teater dengan gabungan multimedia di dalamnya. Menurut saya, format ini membantu memahami apa yang sedang dan ingin disampaikan seniman dalam karya ini.

Setelah membaca latar belakang proyek ini melalui website Prehistoric Soul, barulah saya memahami bahwa format multimedia ini penting untuk membawa dan merasakan kebudayaan Marapu di Sumba. Tema The Death Project juga berangkat dari kebudayaan Marapu di Sumba dimana peninggalan kebudayaan Marapu merujuk pada nenek moyang mereka yang telah meninggal.

Kepercayaan Marapu berhubungan erat dengan ritus kematian di Sumba yang masih sangat lekat dengan kubur batu besar dimana seiring berkembangnya zaman kubur batu besar kemudian dimodifikasi dengan semen juga. Ritus kematian tersebut kemudian disajikan Prehistoric Soul di bawah langit Denpasar dengan menampilkan dua adegan, yang pertama adalah adegan pembungkusan kain tenun kepada sang mati, lalu adegan kedua dilanjutkan dengan proses Papanggang (pengawal) menuju batu kubur.

Prehistoric Soul menampilkan ritus tersebut dengan menghadirkan visual-visual yang mereka jalin melalui komputer. Pada awal pementasan misalnya, terlihat visual megalitik yang dihadirkan untuk menambah kesan kedekatan penonton dengan budaya batu besar tersebut. Kemudian pada adegan berikutnya terlihat dua orang laki-laki menari di balik layar putih dengan dukungan visual dan lampu sorot berwarna merah.

Pementasan membuat perasaan saya campur aduk, kepala saya bergantian menoleh ke arah timur dan barat panggung sembari berharap tidak melewati salah satu adegan pun. Dua sisi panggung ini dijadikan medan pementasan yang terhubung. Format multimedia juga membantu saya memahami ritus-ritus yang masyarakat Sumba jalankan ketika mengantar sang mati ke dalam batu kubur.

Saya mencoba mengingat adegan demi adegan seusai pementasan berlangsung. Syukurlah video berbentuk fisheye membuat saya sedikit mengingat pembungkusan sang mati dengan kain tenun, dari video itu tampak banyak orang berkerumun dalam satu ruangan, perasaan campur aduk kembali muncul pada momen itu.

Ingatan saya kemudian bertengger pada adegan kuda dengan beberapa orang di belakangnya, mereka berjalan mengelilingi kalangan tajen, musik dan alunan suara dari seorang laki-laki beriringan, nada-nada tinggi dengan bahasa yang asing juga sayup-sayup terdengar.

Saat membaca latar belakang pementasan proyek ini, barulah saya mengetahui bahwa adegan kuda dengan beberapa orang dan tedung tersebut adalah bagian dari adegan Papanggang (pengawal). Kuda dipercaya sebagai pengantar sang mati ke suatu tempat bernama Prai Marapu (semacam surga, namun neraka juga ada di situ).

Pengalaman baru yang saya rasakan ini membuat perasaan senang, takut dan sedih menjadi berlipat-lipat. Pengalaman mendengarkan musiknya pada saat itu juga cukup membekas di hati saya, meski beberapa kali saya hanya bisa menganga dan terpana sebab musik yang asing ini begitu indah terdengar di telinga saya.

Pementasan ini juga menjadi menarik karena kolaborasi dilakukan antara seniman dari Bali dan Sumba.

Banyak sekali adegan dan visual yang saya harapkan tidak terlewati pada malam itu, tetapi tentu saya hanya manusia biasa yang kerap luput pada detail-detail itu. Meski demikian, saya tetap memperoleh pengalaman baru yang menyenangkan, melalui dua adegan ritus kematian masyarakat Sumba itu saya menjadi tertarik dengan alasan proyek ini dibuat, makna dibaliknya serta bagaimana ritus ini melekat pada filosofi kehidupan masyarakat Sumba.

Melalui sebuah video yang dipublikasikan di website Prehistoric Soul, seorang laki-laki berkata bahwa pada saat seorang dari Sumba meninggal, mereka tidak langsung menangis. Biasanya keluarga dipanggil satu persatu, setelah sang mati dipanggil namanya sebanyak empat kali dan ketika ia tidak menjawab, maka orang tersebut dianggap telah meninggal.

Melalui proses tersebut, saya melihat sedikit kemiripan dengan apa yang terjadi pada upacara/prosesi ngaben masyarakat Bali. Biasanya terdapat banten (sesajen) yang berbentuk perahu, orang Bali yang meninggal dianggap bepergian ke alam sana menggunakan kendaraan itu, biasanya keluarga juga mengelilingi banten tersebut sembari seseorang bertanya apakah orang yang meninggal ada di sisi barat, timur, utara atau selatan. Lalu keluarga yang berkeliling akan menjawab tidak ada, hal itu mengindikasikan bahwa sang mati telah meninggalkan dunia ini.

Barangkali, adegan tersebut dipercaya baik oleh masyarakat Sumba dan Bali sebagai perjalanan yang telah dilalui sang mati menuju kehidupan abadi.

Melalui teater multimedia baru yang mengangkat sisi antropologi dan arkeologi masyarakat Sumba ini, saya mendapatkan harapan baru tentang pemanfaatan teknologi bagi kerja-kerja kebudayaan dan seni hari ini. Mengutip tulisan dalam website Prehistoric Soul berikut:

An art performance concept that reconstructs prehistoric life through multimedia and various scientific disciplines, to remind people of the basic need to not exploit nature.

Prehistoric Soul

Kutipan tersebut membuat saya yakin bahwa hidup kita di dunia tidak didesain untuk mengeksploitasi alam. Pesan tersebut membuat saya mengingat sebuah tulisan yang cukup fenomenal, tulisan tersebut berjudul Silent Spring (1962).

Silent Spring diartikan sebagai musim semi yang bisu sebab pada buku ini penulisnya Rachel Carson berkisah tentang bagaimana maraknya penggunaan pestisida berimbas pada kematian burung-burung yang mencari makan lewat tumbuhan yang disemprotkan zat kimia itu. Pada kasus tersebut, kemajuan dan ilmu pengetahuan telah mengeksploitasi alam dan menyebabkan kerusakan.

Hadirnya teknologi dalam pementasan ini setidaknya memberi harapan bahwa sebenarnya kemajuan teknologi masih bisa digunakan untuk hal-hal baik yang tidak menyakiti dan mengeksploitasi alam yang sudah banyak memberi. Format multimedia dalam projek ini terbukti mampu membantu kerja-kerja seni hari ini.

Malam itu, dengan bantuan visual, saya dapat menyaksikan ritual Marapu yang berasal dari Sumba di bawah langit Kesiman, Denpasar. Tentu terima kasih tidak pernah cukup untuk mendeskripsikan perasaan saya usai menonton pementasan ini. Namun, tetap saja saya ingin berterima kasih atas kerja keras dan karya yang indah itu. Pada budaya, orang-orang, visual, musik, dan tempat yang indah itu saya dibuat jatuh cinta.

--

--