“Chipko Movement” dan Awal Munculnya Gerakan Ekofeminisme di India

Ayu Pawitri
5 min readSep 1, 2020

Sejarah Ecofeminism dan Gerakan Chipko di India

Pada tahun 1972 isu tentang lingkungan hidup menjadi salah satu isu besar yang sangat mendunia, saat itu Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melangsungkan konferensi tentang isu lingkungan hidup sebagai salah satu agenda politik yang harus didukung. Isu lingkungan hidup ini juga sebelumnya sempat dipopulerkan oleh sebuah tulisan berjudul Silent Spring pada tahun 1962 yang ditulis oleh Rachel Carson.

Tulisan ini ternyata menyadarkan begitu banyak orang di seluruh dunia. Pada buku tersebut, Carson menjelaskan perlakuan arogan manusia ketika mereka mengeksploitasi alam sebagai salah satu sumber daya yang tidak ada habisnya. Dalam buku tersebut ia juga menjelaskan bahwa limbah-limbah industri telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan masalah besar terkait dengan kesehatan masyarakat.

Adanya eksploitasi besar-besaran akhirnya membuat sebuah pandangan ekofeminisme muncul. Kata ekofeminisme pertama kali muncul pada tahun 1974 dan dikemukakan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Françoise d’Eaubonne.

Seorang ekofeminis asal Jepang bernama Natsuko Hagiwara juga mengatakan bahwa ekofeminisme merupakan sebuah revolusi perempuan yang dilakukan untuk kepentingan revolusi ekologis pada bumi. Ekofeminisme secara gamblang menggabungkan antara perspektif gender dan lingkungan, dengan harapan tidak ada eksploitasi berlebihan kepada alam.

Dok. https://www.indiatimes.com/news/india/chipko-andolan-was-the-strongest-movement-to-conserve-forests-india-needs-it-again-342183.html

Konferensi ekofeminisme pertama diselenggarakan di Massachusetts (US) pada tahun 1990 dengan tema “Women and Life on Earth: Ecofeminism in the Eighties”, konferensi ini kemudian menginspirasi dan menumbuhkan partisipasi perempuan dalam melawan militerisme, patriarki, rasisme, dan degradasi lingkungan.

Tentu saja gerakan ekofeminisme tidak hanya tumbuh pada negara bagian utara (maju), gerakan ini juga tumbuh di negara dunia ketiga seperti Afrika dan India. Di India sendiri terdapat gerakan perempuan yang mendunia, gerakan ini dikenal dengan sebutan Chipko Movements atau gerakan memeluk pohon untuk menghentikan penghancuran Hutan Himalaya.

Pergerakan environmental di India sebenarnya dipengaruhi oleh bagaimana mereka bertahan dan menghadapi masa kolonial pada saat itu. Pada paruh kedua abad 19, dengan munculnya nasionalisme di India — perempuan mulai mengikuti pembangkangan sipil dan gerakan anti kekerasan yang dipimpin oleh Gandhi sebagai tokoh nasional liberal di India.

Indikator Gerakan Chipko sebagai Gerakan Ekofeminisme

Gerakan Chipko pertama kali muncul karena lingkungan yang dieksploitasi pada saat itu berkembang sangat pesat. Indikator pertama yang dapat dijadikan sebuah alasan Gerakan Chipko ini mulai tumbuh adalah hubungan sentimental antara perempuan dengan alam. Hubungan yang erat antara alam dan perempuan juga tertuang dalam pemikiran Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974, ia mengklaim bahwa budaya yang maskulin membuat polusi muncul secara berlebihan dan membuat sumber daya lainnya terdegradasi.

Munculnya pemikiran ekofeminisme dapat mengadvokasi segala kepentingan perempuan terhadap perlindungan alam dari segala bentuk eksploitasi manusia. Pemikiran ekofeminisme yang kemudian hadir pada Gerakan Chipko ini juga menganggap bahwa eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis merupakan sebuah produk patriarki, sehingga ekofeminisme merupakan jalan untuk menyelamatkan alam dari eksploitasi.

Indikator kedua munculnya Gerakan Chipko terletak pada keinginan masyarakat India dalam menopang pembangunan berkelanjutan dengan asas lingkungan. Keinginan tersebut muncul salah satunya karena pertemuan PBB (1975–1985) yang mempertemukan aktivis-aktivis perempuan di seluruh dunia untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan terkait lingkungan. Keinginan ekofeminis untuk menyelamatkan hutan konservasi di India juga menjadi salah satu indikator munculnya gerakan ekofeminisme.

Indikator ketiga dari kasus ini adalah kesempatan perempuan dalam membantu menyembuhkan krisis ekologi dan melawan industri-industri kapitalis yang merusak lingkungan hidup. Dalam studi kasus pergerakan perempuan di India, mereka mempertahankan pohon yang ada di Hutan Himalaya untuk tidak ditebang dan dirusak karena hutan tersebut merupakan warisan yang harus dijaga.

Dalam prinsip ini, ekofeminis berpandangan bahwa alam dan perempuan merupakan salah satu objek yang sering dieksploitasi oleh sistem-sistem patriarki, sehingga penting bagi perempuan India terlibat dalam gerakan memeluk pohon guna menyelamatkan pohon dari ancaman swasta dan negara.

Kepentingan Negara

Pada permasalahan Chipko, negara dan swasta justru mencari keuntungan lewat eksploitasi besar-besaran terhadap hutan konservasi di wilayah India Utara ini. Kepentingan negara tersebut juga kemudian menumbuhkan gerakan ekofeminisme dengan penggalan kata “peluklah pohon” atau dalam bahasa India disebut dengan Chipko.

Kepentingan negara akan eksploitasi sumber daya ini menyebabkan munculnya industri dan swastanisasi di daerah tersebut, hal ini kemudian dianggap sebagai salah satu produk maskulin yang terkesan agresif dan kompetitif. Prinsip ini tentu sangat berbeda dengan ekofeminis yang intuitif dan memiliki sifat memelihara.

Dalam hal ini negara menganggap bahwa pohon dan alam merupakan benda mati yang tidak memiliki power ketika ia dieksploitasi. Padahal, dalam sebuah essay yang ditulis oleh Christopher D dengan judul “Should Trees Have Standing?” diceritakan bahwa bukanlah suatu yang bijak jika kita mengatakan bahwa pohon tidak memiliki hak dan kekuatan untuk membela diri hanya karena ia tidak berbicara seperti manusia.

Efek Gerakan Ekofeminisme di Indonesia

Salah satu efek dari gerakan ekofeminisme yang muncul di dunia terhadap permasalahan ekologis di Indonesia adalah munculnya perlawanan masyarakat — khususnya ibu-ibu di daerah Pegunungan Kendeng dalam penolakan pabrik semen. Gerakan menolak pabrik semen atau Gerakan Kendeng Lestari ini sudah sangat massif dilakukan oleh petani-petani dari Kendeng.

Hingga pada tahun 2016 aliansi Petani Kendeng berjuang dan menyuarakan keluhannya di depan Istana Negara dengan melakukan pengecoran semen pada kaki Petani Kendeng. Gerakan yang dilakukan oleh petani perempuan ini pun mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Aksi yang dilakukan oleh Petani Kendeng semata-mata hanya untuk melawan dominasi pemimpinnya di daerah, dengan diadakannya gerakan ini petani berharap pemerintah pusat mampu melirik dan menghentikan pembangunan pabrik semen ini, demi keberlangsungan hidup mereka.

Adanya Gerakan Chipko ini juga membawa dampak besar bagi perkembangan pemikiran ekofeminisme dunia, di Indonesia sendiri banyak kemudian kita jumpai kajian-kajian dan cara berpikir yang mengedepankan prinsip ekofeminisme — meski di satu sisi cara pandang ekofeminisme sebenarnya sudah mengakar pada kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat dan rural societies (pesisir) di Indonesia selama ini.

*Tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam mata kuliah Globalisasi dan Isu Politik Kontemporer (2018), penulis melakukan sedikit penyuntingan untuk kepentingan pemuatan secara online.

Referensi

M Bookchin.1921. The Ecology Of Freedom. (online)

R Carson. 1962. Silent Spring.(online)

C D Stone. 1972 .Should Trees Have Standing? https://iseethics.files.wordpress.com/2013/02/stone-christopher-d-should-trees-have-standing.pdf. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

S Buckingham. 2004. Ecofeminism In The Twenty-First Century. uaf.edu.pk/faculties/social_sci/courses/gender…/09.pdf. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

IB Tøllefsen. 2011. Ecofeminism, Religion and Nature in an Indian and Global Perspective. https://uit.no/Content/276140/Ecofeminism_Inga_2011.pdf. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

__. Gerakan Memeluk Pohon. https://historia.id/mondial/articles/gerakan-memeluk-pohon-PKgpP. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

A Goebel. Women and Sustainability What Kind of Theory do we Need?. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.883.6369&rep=rep1&type=pdf. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

E Passantino. 2017. Ecofeminism in India: from the Chipko Movement to the Case of Narmada Valley Development Project. dspace.unive.it/bitstream/handle/…/836571–1204945.pdf?… Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

K Morita. 2007. For a better environmental communication: a materialist Ecofeminist. https://www.revistas.usp.br/caligrama/article/view/65467. Diakses pada tanggal 20 desember 2018.

S Sengar. 2018. Chipko Andolan Was The Strongest Movement To Conserve Forests India Needs It Again.

https://www.Indiatimes.com/news/India/chipko-andolan-was-the-strongest-movement-to-conserve-forests-India-needs-it-again-342183.html. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

https://sustainabledevelopment.un.org/milestones/wced. Diakses pada tanggal 20 Desember 2018.

--

--