Analisis Film Dokumenter Sexy Killers melalui Perspektif Ekologi Politik

Ayu Pawitri
5 min readSep 1, 2020

Secara umum alur cerita dari film dokumenter sexy killers memotret sisi lain kehidupan masyarakat Indonesia yang secara langsung berdampingan dengan industri tambang dan PLTU batubara. Film dokumenter ini mengambil latar di beberapa wilayah Indonesia seperti Kalimantan Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Palu dan Bali. Sexy killers menceritakan bagaimana listrik dihasilkan dan sampai ke rumah-rumah untuk menerangi kehidupan kita sehari-hari. Aktor-aktor dari berbagai kalangan muncul — kerusakan lingkungan, korban jiwa, serta berbagai dampak buruk lain juga diceritakan dalam film ini. Secara keseluruhan memang tidak banyak dampak positif yang dirasakan warga sekitar pertambangan.

Dok. youtube.com

Dampak positif yang didapatkan masyarakat sekitar pertambangan cenderung terbebani dengan dampak negatif dari industri tambang ini, seperti pada awal film yang mengambil lokasi di Kalimantan — di mana air bersih mulai tercemar oleh limbah tambang, bekas galian tambang yang tidak direklamasi ulang menyebabkan korban jiwa, hingga lahan pertanian yang dialiri lumpur bekas limbah tambang.

Konsep yang tepat untuk meninjau dampak buruk yang terjadi akibat industri tambang dan PLTU ini adalah konsep eksternalitas. Yuniarti (2019) menyatakan bahwa eksternalitas timbul ketika beberapa kegiatan dari produsen dan konsumen memiliki pengaruh yang tidak diharapkan (secara tidak langsung) terhadap produsen atau konsumen lain. Eksternalitas yang muncul di daerah sekitar industri ini membuat masyarakat yang tidak terlibat langsung juga harus menanggung kerusakan lingkungan dan polusi. Secara rinci, dampak buruk dari pengolahan ini dapat dikelompokkan melalui dampak kerusakan lingkungan, kematian prematur akibat tambang dan PLTU, dampak kesehatan dari asap PLTU, dampak ekonomi serta polusi yang dihasilkan oleh limbah tambang dan asap pabrik.

Jika dilihat dari pendekatan ekologi politik, maka film ini didominasi oleh pemikiran antroposen, dalam hal ini perusahaan sebagai aktor dominan hanya mementingkan tujuan dari perusahaannya. Tujuan yang dimaksud masih berkutat pada perhitungan untung rugi manusia, sedangkan alam dan masyarakat marjinal yang tidak memiliki kuasa tidak termasuk dalam hitungan untung rugi tersebut. Di tatanan pemerintah Kalimantan melalui kepala daerahnya — mengklaim bahwa korban meninggal akibat galian tambang merupakan kematian alami. Padahal, jika kita lihat kematian tersebut sifatnya prematur karena dapat dicegah dengan menutup galian tambang.

Robbins (2011: 22) menjelaskan terdapat lima jenis tesis yang dijabarkan dalam ekologi politik yaitu: degradasi dan marjinalisasi, konservasi dan kontrol, konflik lingkungan, subjek lingkungan dan identitas, serta objek politik dan aktor. Konsep ini sangat relevan dengan kasus-kasus yang terjadi dalam film ini, adanya degradasi dan marjinalisasi pada masyarakat sekitar tambang, kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada masyarakat, masalah kesehatan yang menimpa warga sekitar tambang dan PLTU, serta berkurangnya produksi kelapa di sekitar PLTU Celukan Bawang, Bali. Munculnya degradasi lingkungan serta marginalisasi warga kelas bawah semakin menambah konflik lingkungan di Indonesia, kasus pertambangan dan industri PLTU batubara bukan lagi menjadi pahlawan bagi Indonesia karena disisi lain ia menyebabkan distribusi konflik yang terus meningkat.

Kasus yang diangkat dalam film dokumenter ini tentu masuk ke dalam konflik ekologi atau konflik distribusi ekologi. Menurut Martinez Alier dan Martin O’Connor (1996) konflik distribusi ekologi terjadi karena adanya ketidakadilan akses terhadap sumber daya alam serta beban polusi yang tidak adil. Seperti kasus yang telah dijelaskan di atas banyak masyarakat sekitar pertambangan dan PLTU tidak dapat mengakses sumber daya alam secara baik karena dampak kerusakan lingkungan membuat pekerjaan mereka menjadi terhambat. Masyarakat yang biasanya hidup dari alam kini kesusahan untuk mencari ikan atau bertani karena lingkungan yang sudah tercemar. Sementara itu, aktor-aktor yang menguasai industri tambang dan PLTU tetap menghasilkan keuntungan.

Munculnya berbagai aktor dalam kasus-kasus ini menghadirkan suatu kesimpulan bahwa konflik ekologi merupakan konflik yang sangat kompleks karena aktor-aktor yang terlibat memiliki klaim tersendiri, klaim tersebut muncul karena masing-masing aktor mempunyai sudut pandang dan kepentingan berbeda dalam melihat konflik ini.

Dari segi pemerintah seperti yang diliput pada cuplikan film — nyatanya masih kurang sigap dalam menangani konflik dan dampak konflik bagi masyarakat. Hal ini tercermin dari cuplikan pidato Presiden RI Joko Widodo yang sangat mendorong energi batu bara menjadi energi pembangkit listrik, pidatonya terkesan sangat antroposentris karena hanya mementingkan manusia sebagai subjek penting, seharusnya pemerintah pusat beserta Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kesehatan meninjau kembali dampak buruk dan beban polusi yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan ini.

Sementara itu, dari pihak perusahaan yang banyak dikelola oleh pejabat negara dan pengusaha mengklaim bahwa tujuan didirikannya perusahaan adalah menopang kebutuhan listrik rumah tangga, mereka juga mengklaim bahwa bekas galian tambang akan dijadikan pariwisata baru dan daerah resapan air. Namun, praktik di lapangan menunjukkan fakta yang berbeda. Pandangan lain muncul dari masyarakat sekitar pertambangan seperti petani di Kalimantan Timur yang merasa bahwa rakyat kecil akan selalu kesulitan dan menerima dampak buruk dari tambang, sedangkan pemilik modal dan penguasa akan selalu “ongkang-ongkang” kaki menerima keuntungan. Salah satu nelayan terdampak di daerah Jawa Tengah juga berkomentar tentang pembangunan PLTU yang semakin banyak, hal yang paling ditakutkan adalah ketika PLTU dibangun di mana-mana maka tidak ada tempat lain lagi di Indonesia yang bisa ia tinggali.

Berbagai pandangan dan kepentingan berbeda muncul dari berbagai aktor yang terlibat dalam konflik ini. Perbedaan pandangan tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai yang mereka lihat dari alam. Masyarakat kecil seperti petani dan nelayan masih sangat menghargai alam dan masih menggunakan cara-cara konvensional untuk bekerja.

Sedangkan perusahaan dan pemerintah lebih gencar menghasilkan energi listrik dengan meninggalkan berbagai macam polemik lingkungan yang muncul, perusahaan juga menganggap permasalahan lingkungan dapat diselesaikan jika masyarakat diberikan jaminan material.

Kerusakan terumbu karang akibat tongkang batubara juga dirasakan oleh warga di Kepulauan Karimunjawa, rusaknya biota laut tersebut menjadi sorotan bagi organisasi lingkungan internasional Greenpeace yang ikut serta memperjuangkan keadilan lingkungan di Kepulauan Karimunjawa dengan memberi peringatan pada tongkang yang melewati kepulauan ini. Aksi yang dilakukan adalah mengecat tongkang batu bara dengan tulisan “coral not coal”. Aksi ini berhasil memperkecil jumlah tongkang yang melintasi kawasan konservasi Karimunjawa.

Perbedaan kepentingan berdasarkan nilai ini disebut dengan Language of Valuation. Gerber (2012) dalam Environmental Justice Organization, Liabilities and Trade menegaskan bahwa perspektif penguasa dan masyarakat dalam menilai alam sangat berbeda. Hal ini kemudian menyadarkan kita bahwa penyelesaian konflik tidak hanya berdasarkan pada analisis untung rugi, pemberian kompensasi material juga tidak menyelesaikan sumber konflik karena hal tersebut akan menyederhanakan sistem nilai yang kompleks menjadi sebatas dana ganti rugi.

*Tulisan ini merupakan tugas dari mata kuliah Ekologi Politik (2019), dilakukan beberapa suntingan untuk keperluan penerbitan online.

Referensi

Conde, M & Martinez-Alier, J. 2016. Ecological Distribution Conflicts. http://www.ejolt.org/2016/04/ecological-distribution-conflicts/ (diakses pada tanggal 18 Mei 2019).

Gerber, J F. 2012. Languages of Valuation. http://www.ejolt.org/2012/12/languages-of-valuation/ (diakses pada tanggal 18 Mei 2019).

Martinez-Alier, J. 2003. The Environmentalism of the poor: a study of ecological conflict and valuation. Edward Elgar Publishing.

Robbins, P. 2011. Political ecology: A critical introduction (vol.16). John Wiley &Sons.

Yuniarti, D. 2019. Eksternalitas Lingkungan. https://researchgate.net/publication/332494798_EKSTERNATLITAS_LINGKUNGAN (diakses pada tanggal 19 Mei 2019).

Akses film sexy killers; https://www.youtube.com/watch?v=qlB7vg4I-To

--

--